Catatan Kecil Dokter Koboi
DI TENGAH padang tandus yang memutih oleh cahaya mentari, terhampar jutaan langkah yang menyatu dalam satu tujuan: menghadap Ka’bah, rumah Allah yang agung. Dalam balutan dua helai kain putih ihram rombongan amirull hajj 2025, tak ada perbedaan antara raja dan rakyat, kaya dan miskin, pejabat dan orang biasa. Semua datang dengan jiwa yang sama: kosong, tunduk, dan berharap ampunan.
Kain putih itu bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol kesucian dan kefanaan. Ia mengingatkan kita pada kain kafan—bahwa hidup adalah perjalanan yang singkat, dan pada akhirnya, kita semua akan kembali menghadap-Nya, hanya dengan amal yang kita bawa.
Di hadapan Kakbah, dunia seolah terhenti. Suara tangis lirih, doa yang merintih, dan bisikan tasbih menciptakan simfoni keheningan yang penuh makna. Tiada yang lebih penting selain menyatu dengan Sang Pencipta, mencurahkan segala rasa, dan memohon agar hati yang kotor dibersihkan.
Dalam keheningan itu, kekhusyukan tumbuh. Mata memandang Kakbah, hati menunduk dalam dzikir. Langkah thawaf yang berulang seolah menyusun mozaik cinta dan penghambaan. Tiap putaran bukan sekadar ritual, melainkan pengakuan bahwa kita ini lemah, rapuh, dan tak berdaya tanpa kasih sayang-Nya.
Di Tanah Haram ini, setiap helai kain ihram menjadi saksi bisu atas janji-janji yang diucapkan dalam diam: untuk berubah, untuk memperbaiki diri, untuk lebih taat dan dekat dengan Allah. Ia menjadi simbol transformasi spiritual, dari gelap menuju terang, dari lalai menuju sadar.
Saujana kain putih ihram—sejauh mata memandang, sejauh niat menembus langit—menjadi lambang keikhlasan. Ia bukan sekadar pakaian, melainkan jubah penyucian diri, yang menyelimuti tubuh seraya membebaskan jiwa dari belenggu dunia.
Semoga setiap langkah menuju Ka’bah, setiap tetes air mata yang jatuh di pelatarannya, menjadi saksi keikhlasan kita. Dan semoga dari keheningan itu, lahir kekuatan untuk kembali ke dunia dengan hati yang baru—lebih lembut, lebih tunduk, dan lebih mencintai-Nya.
Makkah 31 Mei 2025